TUGAS DAN KEWAJIBAN PENGAWAS SEKOLAH
BAB I
A. Latar Belakang
Kondisi mutu pendidikan di Indonesia kini ini dirasakan sangat parah dalam aneka macam jenjang, baik tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi, sebagaimana ditunjukan oleh aneka macam kajian (Dadang Suhardan, 2014:2).
Dalam Dadang Suhardan (2014:5) Imam Prasodjo (Kompas 16 April 2004:9), pendidikan Indonesia sebetulnya sudah masuk kategori Tahap Gawat Darurat, salah satu diantaranya lantaran mutu Pendidikan Dasar dan Menengah yang rendah serta sistem pendidikan yang tak lagi berkembang jawaban krisis sosial yang berkepanjangan.
Dipicu oleh mutu pendidikan dasar dan menengah yang rendah dengan sistem pengajaran yang tidak berkembang sudah saatnya pemerintah menyerukan emergency pendidikan, yang harus diikuti dengan pengalokasian dana yang signifikan untuk pembenahannya... bila pendidikan tetap dibiarkan menyerupai kini maka murid dengan kualitas pendidikan yang memadaipun sulit dijangkau. Apalagi untuk mengharapkan mutu pendidikan yang benar-benar berkualitas. (Dadang Suhardan, 2014:5)
Dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 ihwal Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil pembagunan pendidikan yang telah dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya insan yang kompeten dan bisa bersaing dalam pasar kerja global; (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melaksanakan perubahan dan adaptasi sehingga sanggup mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat (Hasbullah, 2010:1)
Dengan diluncurkan UU Nomor 22 Tahun 2000 ihwal otonomi daerah, pelaksanaan Pendidikan dasar dan mengengah menjadi tanggung jawab daerah, Kabupaten, dan Kota, sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tetang Sisdiknas pasal 50 ayat 5 “ Pemerintah kabupaten/Kota mengelola Penddidikan Dasar dan Menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Impelentasi otonomi daerah tersebut berdampak pada pelaksanaan manajemen pendidikan baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik dalam segala bidang kehidupan, termasuk layanan pendidikan bermutu dalam satuan pendidikan di sekolah. (Dadang Suhardan, 2014:7)
Salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan yaitu dilakukan melalui pengawasan kepada sekolah-sekolah sesuai dengan tingkat satuan pendidikan. Dalam kerangka otonomi daerah maka kiprah dan tanggung jawab pengawasan pendidikan menjadi semakin penting. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan besar untuk meningkatkan profesionalisme pengawas pendidikan.
Dalam Dadang Suhardan (2014:15) berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:691) bahwa kata Pengawasan di lingkungan Depdiknas digunakan sebagai nomenklatur dalam membina sekolah dan gurunya, bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Nomenklatur merupakan penamaan resmi pemakaian istilah bahasa yang digunakan secara umum dalam kelembagaan.
Substansi acara pengawasan profesional di sekolah berbentuk membina sekolah dan gurunya, dalam bahasa akademik disebut supervisi. Berfungsi untuk menilai, memperbaiki, dan meningkatkan untuk pendidikan (Pedoman Pembinaan Profesional Guru SD 1995:1-4). Regulasi pengawasaan pendidikan ditetapkan dalam keputusan Mentri pendidikan nasional pasal 6 d. Kepmendiknas No. 097/U/2002, yang menyatakan bahwa acara pengawasan merupakan acara dalam bentuk ‘bimbingan dan tunjangan pemecahan kasus untuk kelancaran pelaksanaan tugas’.
Diantara problem yang dihadapi pendidikan di daerah kini yaitu menyangkut mutu lulusan yang masih rendah, kondisi fisik sekolah yang memprihatinkan, kekuarangan guru dan kualifikasinya yang tidak sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan, kasus relevansi, kurikulum, dan hal-hal lainnya, merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah. Pemahaman dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah tetang pendidikan sangat diharapkan dalam upaya menjawab aneka macam permasalahan tersebut (Hasbullah, 2010:3)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan di atas, sanggup dirumuskan permasalahan yang muncul dan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa kiprah dan tanggung jawab pengawas pendidikan di tingkat daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan
2. Bagaimana upaya meningkatkan profesionalisme pengawas dalam meningkatkan mutu pendidikan di tingkar daerah
C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui kiprah dan tanggungjawab pengawas pendidikan tingkat daerah dalam peningkatan mutu pendidikan
2. Mengetahui upaya peningkatan profesionalisme pengawas pendidikan di tingkat daerah
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Mutu Pendidikan
Dalam Dadang Suhardan (2014:94) dikemukakan beberapa pendapat hebat ihwal definisi mutu atau kualitas, diantaranya:
1. Edward Salis (1993:24), kualitas sanggup didefinisikan sebagai sesuatu yang melebihi kepuasan dan keinginan konsumen.
2. Juran (1995:9), kualitas yaitu produk yang mempunyai keistimewaan, membebaskan konsumen dari rasa kecewa jawaban kegagalan. Produk yaitu kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya.
3. Crosby (1997), kualitas yaitu kesesuaian dengan kebutuhan pelanggan.
4. Deming (1991), kualitas harus sanggup memenuhi kebutuhan pelanggan kini dan dimasa datang.
Pengertian mutu atau kualitas berbeda-beda tergantung definisi masing-masing produsen (penyedia barang/jasa) atau konsumen (pengguna/pemakai barang/jasa). Perbedaan ini tergantung orientasi yang menjadi objeknya. Benang merah konsep mutu baik berdasarkan produsen atau konsumen yaitu Kepuasan. Kaprikornus dikatakan bermutu bila sanggup memperlihatkan kepuasaan. (Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 2012:293). Mutu yaitu citra dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang memperlihatkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan pelanggan.
Dadang Suhardan (2014:95) mengemukakan tiga konsep dasar dalam memahami konsep kualitas berdasarkan Stephen Murgatroyd dan sdfdfn Morgan (1994:45), yaitu Quality Assurance, Contract Conformance, dan Customer Driven.
Quality Assurance merujuk kepada ketentuan berdasarkan standar, persyaratan kualitas dan ketepatan metode menyerupai yang telah ditetapkan oleh tubuh ahli, kualitas harus melalui uji penilain yang sesuat standar. Inspeksi dilakukan untuk memastikan bahwa proses pengerjaan sesuai dengan norma standar yang telah digariskan, contohnya obat-oabatan, TV, dan kendaraan; keselamatan, kekuatan, daya tahan, dan keandalannya, diuji berdasarkan standar sebelum barang atau jasa dilempar ke pasar.
Contract Conformance. Definisi yang kedua, kualitas harus sesuai dengan kontrak, atau memenuhi kesepakatan bersama, di mana standar kualitas spesifikasinya ditetapkan berdasarkan perundingan ketika kontrak disepakati. Misalnya kontrak pembuatan meja dan bangku kelas; harga, waktu pengerjaan, spesifikasi bahan, disepakati ketika kontrak dibuat. Kualitas merujuk kepada komitmen untuk memenuhi spesifikasi sesuai perjanjian dalam kontrak kesepakatan. Persyaratan mutu ditetapkan oleh mereka yang terlibat dalam pekerjaan, bukan oleh para ahli. Mutu dtetapkan oleh orang yang memberi pelayanan, bukan oleh pihak yang mendapat pelayanan.
Customer Driven, Definisi ketiga, pengertian kualitas harus memenuhi kebutuhan pelanggan. Kualitas dalam pengertian ketiga merujuk kepada standar kualitas nasional, di mana kebutuhan, harapan, dan keinginan konsumen sanggup terpenuhi. Mutu diartikan sebagai pemenuhan keinginan pelanggan, bahkan melebihinya. Misalnya keselematan penerbangan , jasa angkutan, hotel, perumahan, transportasi.
Mutu Pendidikan yaitu citra dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang memperlihatkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu meliputi input, proses, dan output pendidikan (Rohiat, 2012:52)
Pengertian mutu sanggup dilihat dari dua sisi, yaitu segi normatif dan segi deskriptif. Dalam arti normatif, mutu ditentukan berdasarkan pertimbangan instrinsik dan ekstrinsik. Berdasarkan kriteria intrinsik, mutu pendidikan merupakan produk pendidikan yakni insan yang terdidik sesuai standar ideal. Sedangkan berdasarkan kriteria ekstrinsik, pendidikan merupakan instrumen untuk mendidik tenaga kerja yang terlatih. Adapun dalam arti deksriptif, mutu ditentukan berdasarkan keadaan senyatanya contohnya hasil tes prestasi belajar. Dengan demikian, mutu pendidikan yaitu derajat keunggulan dalam pengelolaan pendidikan secara efektif dan efisien untuk melahirkan keunggulan akademis dan ekstra kurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menuntaskan pembelajaran tertentu. (Marsus Suti, Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2011)
Dalam Djam’an Satori (2016:139) disebutkan cara peningkatan mutu pendidikan, yaitu:
1. Inspection;
Suatu sistem untuk menilik kesesuaian tata kerja dengan ketentuan yang ditetapkan (manual kerja atau peraturan perundangan yang berlaku).
2. Quality Control;
Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau standar
3. Quality Assurance;
Konsep ini mengandung suatu jaminan bahwa proses yang berlangsung telah dilaksanakan sesuai dengan mekanisme standar yang telah ditentukan.
4. Continuous Quality Improvement;
Adalah proses penjaminan mutu yang berkelanjutan yang menempatkan budaya mutu (quality culture) sebagai penggalan kehidupan satuan pendidikan.
Beberpa prinsip peningkatan mutu pendidikan berdasarkan Nana Syaodih dkk (2006:9-11) yaitu sebagai berikut:
1. Peningkatan mutu pendidikan berdasarkan kepemimpinan profesional dalam bidang pendidikan.
2. Kesulitan yang dihadapi para profesional pendidikan yaitu ketidakmampuan mereka dalam menghadapi “kegagalan sistem” yang mencegah mereka dari pengembangan atau penerapan cara atau proses gres untuk memperbaiki mutu pendidikan yang ada.
3. Peningkatan mutu pendidikan harus melaksanakan loncatan-loncatan Norma dan kepercayaan usang harus diubah.
4. Uang bukan kunci utama dalama peningkatan mutu
5. Kunci utama peningkatan mutu pendidikan yaitu komitmen pada perubahan.
6. Banyak profesional di bidang pendidikan yang kurang mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam menyiapkan para siswa memasuki pasar yang bersifat global.
7. Program peningkatan mutu dalam bidang komersial tidak sanggup digunakan secara pribadi dalam pendidikan, tetapi membutuhkan adaptasi dan penyempurnaan.
8. Salah satu komponen kunci dalam jadwal mutu yaitu sistem pengukuran.
9. Masyarakat dan manajemen pendidikan harus menjauhkan diri dari kebiasaan memakai “program singkat”, peningkatan mutu sanggup dicapai melalui perubahan yang berkelanjutan tidak dengan program-program singkat.
B. Pengawas Pendidikan
Supervisi berdasarkan Hadari Nawawi (1997:99) dalam Dadang Suhardan (2014:39) yaitu “Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh seorang pejabat terhadap bawahannya untuk melaksanakan tugas-tugas dan kewajibannya dengan baik sesuai pertelaan kiprah yang digariskan”.
Supervisi merupakan pengawasan terhadap pelaksanaan acara teknis edukatif di sekolah, bukan sekedar pengawasan terhadap fisik material. Supervisi merupakan pengawasan terhadap acara akademik yang berupa proses berguru mengajar, pengawasan terhadap guru dalam mengajar, pengawasan terhadap murid yang berguru dan pengawasan terhadap situasi yang menyebabkannya. Kegiatan meliputi menidentifikasi masalah-masalah yang terjadi, selanjutnya dilakukan pembinaan untuk memperbaikinya dan sekaligus untuk mengantisipasi biar masalah-masalah yang ditemukan tidak terjadi lagi (Dadang Suhardan, 2014:39).
Dan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 disebutkan bahwa “pengawas sekolah” yaitu guru pegawai negeri sipil yang diangkat dalam jabatan pengawas sekolah. Kemudian di dalam Permen PAN & RB No. 21 Tahun 2010 Pasal 4 disebutkan “pengawas sekolah” merupakan Pejabat Karier yang hanya sanggup di duduki oleh guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Pengawas sekolah dan penilik sekolah (kemudian berjulukan pengawas sekolah) murni menjadi pejabat fungsional. Jabatan struktural yang menempel padanya dilepaskan oleh keputusan itu. Sejak itulah pengawas sekolah bertugas sebagai penilai dan pembina bidang teknik edukatif dan teknik adminsitratif di sekolah yang menjadi tanggung jawabnya, (PP 19 Tahun 2005).
Dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 118/ 1996 dan Keputusan Menteri Agama nomor 381 tahun 1999 dinyatakan, bahwa pengawas sekolah/ pengawas pendidikan agama yaitu pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan/ pendidikan agama di sekolah umum dan di madrasah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan manajemen pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah.
Beberapa hebat pendidikan juga memperlihatkan pengertian pengawas pendidikan, antara lain :
1. Nick Cowell dan Roy Gardner, pengawas pendidikan yaitu seorang yang membantu sekolah dan guru untuk menolong para siswanya biar sanggup berguru lebih banyak, lebih cepat, dengan bahagia hati dan dengan lebih gampang dan efisien.
2. Ary H. Gunawan, pengawas pendidikan yaitu orang yang melaksanakan pekerjaan supervisi.
3. Piet. A. Sahertian dan Frans Mataheru, pengawas pendidikan yaitu orang yang berfungsi memberi tunjangan kepada guru-guru dalam menstimulasi guru-guru ke arah perjuangan mempertahankan suasana berguru dan mengajar yang lebih baik.
4. Soewadji Lazaruth, pengawas pendidikan yaitu setiap orang yang membantu atau menolong guru biar situasi berguru mengajar berkembang lebih efektif ( B. Upaya Peningkatan Profesionalisme Pengawas Pendidikan
Otonomi daerah memperlihatkan dampak besar terhadap pengelolaan pendidikan. Kewenangan pengelolaan pendidikan diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Bupati dan walikota harus mengatur penyelenggaraan pendidikan di daerahnya. Pemerintah pusat telah memutuskan standar minimal dalam penyelenggaraan pendidikan secara nasional. Pengembangan dan pengayaan dalam penyelenggaraan pendidikan sanggup mengakomodasi potensi khas daerah (Priyadi Surya, 2011:182).
Pengawas tampak menjadi jabatan karier bagi guru dan kepala sekolah. Dalam kerangka otonomi daerah, maka promosi jabatan guru ini menjadi kewenangan bupati/ walikota. Seyogyanya jabatan kepala sekolah dan pengawas ini diisi oleh guru yang memang memenuhi kriteria administratif dan profesional. Tentu saja pengisian jabatan pengawas pun menjadi rawan nuansa politis. Jabatan pengawas pendidikan yang strategis membawahi sekolah, kepala sekolah, dan guru-guru, menggiurkan bagi bupati/walikota untuk menjadikannya alat politik. Beberapa pihak menunjukan bahwa guru-guru yang menjadi tim sukses bupati/walikota, akan menjadi prioritas di dalam pengisian jabatan kepala sekolah dan pengawas. Sedangkan mereka yang tidak demikian, akan sulit membuatkan kariernya dalam jabatan itu. Laode Ida mensinyalir institusi sekolah ketika ini telah menjadi alat politik gres bagi para politisi di tingkat daerah. Institusi sekolah yang khususnya berada di daerah-daerah telah terjebak oleh pragmatisme politik lokal di seluruh Indonesia. Namun tidak terjadi di tempat kota-kota besar contohnya Jakarta. Guru-guru, kepala sekolah dan institusi sekolah merupakan penggalan dari kelas-kelas elit yang sangat kuat dalam pola perpolitikan lokal di tingkat desa maupun kota yang masuk kategori menengah ke bawah. Sehingga, perangkat-perangkat menyerupai kepala sekolah dan guru-guru menjadi alat yang penting bagi pemilihan kepala daerah ketika ini. Hal ini terkadang menjadi penggalan dari kesempatan para guru yang mempunyai kedekatan dengan para calon kepala daerah atau pun incumbent untuk mendekatkan dirinya kepada kekuasaan lokal, sehingga sesudah itu mereka memperoleh jabatan-jabatan strategis. Hal ini seringkali menjadi hambatan psikologis bagi para guru dan kepala sekolah di masa-masa pemilihan kepala daerah yang membuat mereka tidak hening dalam bekerja. Sudah biasa terjadi di daerah, bila simpulan masa pilkada, terjadi mutasi besar-besaran. Selayaknya pendekatan profesional lebih ditingkatkan, selain pendekatan kesetiaan dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan (Priyadi Surya, 2011:183).
Pengawas profesional yaitu pengawas sekolah yang melaksanakan kiprah pokok kepegawaian yang terdiri dari melaksanakan acara pengawasan akademik dan pengawasan manajerial serta acara pembimbingan dan pembinaan profesional guru dengan optimal yang didukung oleh standar dimensi kompetensi prasyarat yang dibutuhkan berkaitan dengan (1) pengawasan sekolah, (2) pengembangan profesi, (3) teknis operasional, dan wawasan kependidikan. Selain itu untuk meningkatkan profesionalisme pengawas sekolah melaksanakan pengembangan profesi secara berkelanjutan dengan tujuan menjawab tantangan dunia pendidikan yang semakin komplek dan untuk lebih mengarahkan sekolah ke arah pencapaian tujuan pendidikan nasional yang efektif, efisien dan produktif (Nana Sujana dkk, 2011:5).
Seorang pengawas profesional dalam melaksanakan kiprah pengawasan harus mempunyai (1) kecermatan melihat kondisi sekolah, (2) ketajaman analisis dan sintesis, (3) ketepatan dan kreatifitas dalam memperlihatkan treatment yang diperlukan, (4) kemampuan berkomunikasi yang baik dengan setiap individu di sekolah (Nana Sujana dkk, 2011:6)
Karakteristik yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah yang profesional diantaranya:
1. Menampilkan kemampuan pengawasan dalam bentuk kinerja
2. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme
3. Melaksanakan kiprah kepengawasan secara efektif dan efisien
4. Memberikan layanan prima untuk semua pemangku kepentingan
5. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan
6. Mengembangkan metode dan taktik kerja kepengawasan secara terus menerus
7. Memiliki kapasitas untuk bekerja secara mandiri
8. Memiliki tanggung jawab profesi
9. Mematuhi instruksi etik profesi pengawas
10. Memiliki komitmen dan menjadi anggota organisasi kepengawasan sekolah (Nana Sujana dkk, 2011:6)
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam peningkatan kualifikasi akademik pengawas yaitu dengan pemberian beasiswa studi lanjut jenjang magister (S2) bagi pengawas dan calon pengawas. Misalnya, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah (Dit. P2TK Dikmen Diknas) telah memperlihatkan beasiswa S2 bagi pengawas dan calon pengawas. Namun sayang, perguruan tinggi yang ditunjuk untuk menyelenggarakan perkuliahan bagi pengawas dan calon pengawas ini yaitu perguruan tinggi yang tidak berbasis forum pendidikan tenaga kependidikan (LTPK). Untuk jadwal tahun 2011, perguruan tinggi yang menjadi kawan dalam hal ini yaitu Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tidak mempunyai fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Padahal, dalam pola Permendiknas No. 12/2007 ihwal Standar Pengawas Sekolah/Madrasah mengarahkan biar kualifikasi akademik pengawas berbasiskan bidang kependidikan. Alangkah lebih baiknya apabila beasiswa S2 bagi pengawas dan calon pengawas itu diselenggarakan di perguruan tinggi berbasis bidang kependidikan (LPTK). Untuk pengawas TK/RA dan SD/MI contohnya sanggup mengambil jadwal studi manajemen pendidikan, manajemen pendidikan, atau pula penjaminan mutu pendidikan. Bagi mereka yang menjadi pengawas SMP/MTs, SMA/ MA, dan SMK/MAK sanggup mengambil jadwal studi pendidikan disiplin ilmu mereka di perguruan tinggi LPTK. Misalnya, pengawas SMP/MTs dan SMA/MA rumpun IPA mengambil S2 Pendidikan IPA, rumpun IPS mengambil S2 Pendidikan IPS, rumpun seni budaya mengambil S2 Pendidikan Seni, dan pengawas SMK/MAK mengambil S2 Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (Vokasi). Seluruh jadwal studi tersebut sudah ada di perguruan tinggi berbasis ilmu kependidikan (LPTK) di Indonesia (Priyadi Surya, 2011:184).
Pengembangan kompetensi sanggup dikembangkan melalui penyusunan karya tulis ilmiah dan pembuatan karya inovatif (aspingk.blogspot.com. 2011).7 Pengembangan diri pengawas sanggup juga dengan mengikuti diklat fungsional, melaksanakan acara kolektif guru, publikasi ilmiah, menyerupai membuat publikasi ilmiah atas hasil penelitian, membuat publikasi buku, juga membuat karya Inovatif menyerupai menemukan teknologi tetap guna, menemukan/menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran, mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya (Priyadi Surya, 2011:186).
C. Peran Pengawas Pendidikan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Tingkat Daerah
Dengan adanya abad otonomi daerah, pemerintah telah menyerahkan hak dan kewenangan melaksanakan pendidikan, bukan hanya di tingkat propinsi, melainkan hingga di tingkat kabupaten/kota. Dalam pendidikan dasar dan mengengah hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pendidikan bahkan telah diserahkan hingga kepada tingkat sekolah melalui konsep manajemen berbasis sekolah (School Based Management) (Dadang Suhardan, 2014:134).
Pengawas sekolah mendapat kiprah besar dalam pembinaan forum ini. Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana (2009:392) mengemukakan kiprah supervisor sebagai konduktor pengelolaan menduduki kiprah penting. Ia harus bisa meraih semua personal yang terlibat pribadi maupun tidak pribadi dengan proses pendidikan. Kaitannya dengan MBS, supervisor harus mengupayakan kondisi sekolah berkinerja tinggi dengan tingkat pelibatan semua unsur terkait (masyarakat, stakeholders, dan pihak sekolah) secara optimal. Dalam hal ini, kiprah supervisor yaitu sebagai katalisator dan fasilitator pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembuatan keputusan pendidikan (Priyadi Surya, 2011:187)
Penjaminan mutu proses pelayanan pendidikan menjadi tanggung jawab pengawas. Supervisi yang dilakukan hendaknya mesti bisa menjaga kualitas jadwal yang diusulkan sekolah selaras dengan tujuan pendidikan nasional, rasional dan mendidik. Pengawas harus menjaga relevansi operasionalisasi kurikulum di sekolah, mengawasi pengelolaan sumber daya dan proses kolaborasi sekolah. Tentu saja pengawas akan mengawasi implementasi kebijakan yang diputuskan pemerintah pusat dan daerah (Priyadi Surya, 2011:187).
References
Hasbullah. (2010). Otonomi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Nana Sudjana, Standar Mutu Pengawas. Jakarta: Depdiknas. (2006). Retrieved from https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/08/tugas-pokok-fungsi-hak-dan-wewenang-pengawas-sekolahsatuan-pendidikan/.
Nana Sujana, d. (2011). Buku Kerja Pengawas Sekolah. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDM dan PMP, Kementrian Pendidikan Nasional.
Nana Syaodih Sukmadinata, A. N. (2006). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah. Bandung: Rafika Aditama.
Paeran. (2015). Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Pengawas Sekolah. Retrieved from https://mbahgurukutim.blogspot.co.id/2015/08/kedudukan-tugaspokok-dan-fungsi)
Sebagai jabatan karir, pengawas sekolah merupakan jabatan yang strategis dalam penyelenggaraan pendididikan. Pengawas Sekolah berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional dibidang pengawasan yang meliputi pengawasan dibidang akademik dan manajerial pada satuan pendidikan yang telah ditetapkan. Untuk itu pengawas sekolah dalam melaksanakan tugasnya, merupakan perpanjangan tangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kota.
Dengan posisi yang sedemikian strategis dalam penyelenggaraan pendidikan, bersama-sama pengawas sekolah seharusnya mempunyai andil yang sangat secara umum dikuasai dalam penyelenggaraan pendidikan disebuah kabupaten / Kota. Yang menjadi kasus yaitu seberapa besar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan memperlihatkan porsi kepada pengawas sekolah untuk melaksanakan tugas-tugas kepengawasannya sesuai kiprah pokok dan fungsi pengawas sekolah yang diatur dalam peraturan atau perundangan yang berlaku (Paeran, 2015:-).
BAB III
PEMBAHASAN
Eksistensi pengawas sekolah dinaungi oleh sejumlah dasar hukum. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yaitu landasan aturan yang terbaru yang menegaskan eksistensi pejabat fungsional itu. Selain itu, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 21 Tahun 2010 merupakan menetapan pengawas sebagai pejabat fungsional dan angka kreditnya. Jika ditilik sejumlah peraturan dan perundang-undangan yang ada, yang terkait dengan pendidikan, ternyata secara aturan pengawas sekolah tidak diragukan lagi keberadaannya. Dengan demikian, tidak ada alasan apapun dan oleh siapapun yang memarjinalkan dan mengecilkan eksistensi pengawas sekolah. (Anas Rupaedi, 2012:1)
Posisi dan kiprah strategis (Permenpan No 21 Tahun 2010) sebagai pejabat funsional yang dimiliki oleh pengawas sekolah ternyata tidak sepenuhnya dipahami secara benar oleh sebagian pengawas sekolahnya sendiri maupun oleh sebagian pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Pada ketika pengawas sekolah tidak memahami posisi dan kiprah strategisnya secara benar maka dimungkinkan ada beberapa kasus yang ditimbulkan, diantaranya yaitu (1) ternyata institusi pengawas sekolah semakin bermasalah sesudah terjadinya desentralisasi penanganan pendidikan; (2) institusi ini sering dijadikan sebagai tempat pembuangan, tempat parkir, dan tempat menimbun sejumlah aparatur yang tidak terpakai lagi (kasarnya: pejabat rongsokan). (3) pengawas sekolah belum difungsikan secara optimal oleh manajemen pendidikan di kabupaten dan kota. (4) yaitu tidak tercantumnya anggaran untuk pengawas sekolah dalam anggaran belanja daerah (kabupaten/kota). (5) frekuensi kehadiran pengawas dirasakan sangat kurang; (6) fungsi kehadiran pengawas sehingga cenderung hanya menemui kepala sekolah dan tidak mendampingi atau memfasilitasi pendidik/tenaga kependidikan; (7) guru mencicipi ketidakadaannya tunjangan pengawas terhadap kesulitan guru dalam melaksanakan kiprah pokoknya sehingga peserta didik kurang mendapat pelayanan berguru yang baik dari gurunya (Anas Rupaedi, 2012:1).
Bersamaan dengan itu, apabila pemangku kepentingan tidak memahami posisi dan kiprah strategis pengawas sekolah (sebagai pejabat fungsional yang dihitung angka kreditnya) secara benar, maka ada beberapa kasus yang ditimbulkan, diantaranya yaitu (1) pembinaan kurang mendapat tanggapan positif dari pendidik dan tenaga kependidikan; (2) kehadiran pengawas sekolah hanya merepotkan atau mencari-cari kesalahan guru; (3) jabatan pengawas sekolah masih dijadikan peralihan jabatan structural sebelumnya sehingga jabatan ini hanyalah untuk penunda masa pensiun. Keadaan ini tidak sejalan dengan Permen PAN dan RB No. 21 Tahun 2010 Bab IX Pasal 31; (4) pemerintah tidak begitu memperhatikan laporan ihwal keadaan pembelajaran dan pengelolaan sekolah sehingga pengawas merasa belum diposisikan dengan bersama-sama dan; (5) masih ada anggapan bahwa tanpa pengawas juga bisa sukses. (Anas Rupaedi, 2012:2 )
Dengan kehadiran UU Nomor 32 Tahun 2004 (dimulai dengan UU Nomor 29 Tahun 1999) ihwal Pemerintahan Daerah, di mana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerinah Daerah, memungkinkan daerah untuk melaksanakan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan (Hasbullah, 2010:2).
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang didesentralisasikan ke daerah. Hal ini berdampak pada manajemen pendidikan nasional yang berlandaskan bottom up approach. Pembangunan pendidikan nasional harus sanggup diterima masyarakat dan juga harus menjawab akuntabilitas yang diinginkan publik sebagai pihak yang dilayani kebutuhannya. Saat ini yang menjadi alat politik bagi pemegang kekuasaan di daerah bukan hanya guru dan kepala sekolah, tetapi juga pengawas sekolah. Di satu sisi pengawas pendidikan bertindak sebagai pegawanegeri pemerintah, dan di sisi lainnya sebagai pejabat profesional penjamin mutu pendidikan. Keseimbangan dua kiprah pengawas ini harus sanggup memperlihatkan kemajuan bagi penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan (Priadi Surya, 2011:178).
A. Tugas dan Tanggung jawab Pengawas Pendidikan
Tugas yaitu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang; pekerjaan yang dibebankan. Sedangkan tanggung jawab yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya) (http://kbbi.web.id/tugas).
Mengacu pada SK Menpan Nomor 21 Tahun 2010 ihwal jabatan fungsional pengawas fungsional sekolah dan angka kreditnya. Dalam Bab I, Pasal I ayat 3 dan 4, sanggup ditemukan ihwal kiprah pokok dan tanggung jawab Pengawas Sekolah yang meliputi:
a) Melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan satuan pendidikan,TK / Raudhatul Athfal, SD / Madrasah Ibtidaiyah, SMP / Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah,Sekolah Menengah Kejuruan / Madrasah Aliyah Kejuruan, Pendidikan Luar Biasa atau bentuk lain yang sederajat. b) Kegiatan pengawasan yaitu acara pengawas sekolah dalam menyusun jadwal pengawasan, melaksanakan jadwal pengawasan, penilaian hasil pelaksanaan program, dan melaksanakan pembimbingan dan pembinaan Profesional Guru.
Inti kiprah pokok dan fungsi pengawas sekolah yaitu menilai dan membina. Subjek yang dinilai yaitu teknis pendidikan dan manajemen pendidikan. Penilaian berdasarkan PP 19/2005, penggalan I, pasal 1, ayat (17) yaitu menyerupai betikut ini, ”Penilaian yaitu proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil berguru peserta didik.” Sedangkan Kepmenpan No. 118/1996, penggalan I, pasal 1, ayat (8) menyatakan, ”Penilaian yaitu penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolok ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.”
Sebagai pejabat fungsional dan sesuai dengan nama jabatannya, pengawas sekolah bertugas melaksanakan pengawasan. Setiap Pengawas Sekolah wajib melaksanakan pengawasan akademik dan pengawasan manajerial dan tidak menentukan salah satu dari keduanya. Tugas pokok Pengawas Sekolah yaitu melaksanakan pengawasan akademik dan pengawasan manajerial pada satuan pendidikan. Yang dimaksud dengan supervisi akademik meliputi aspek-aspek pelaksanaan proses pembelajaran. Itulah sebabnya supervisi manajerial sasarannya yaitu kepala sekolah dan staf sekolah lainnya, sedangkan supervisi akademik sasarannya yaitu guru (Nana Sudjana, 2011:28).
Pelaksanaan kiprah pengawasan tersebut yakni pengawasan akademik dan pengawasan manajerial meliputi:
1. menyusun jadwal pengawasan baik jadwal pengawasan akademik maupun jadwal pengawasan manajerial, 2. melaksanakan pengawasan akademik dan manajerial berdasarkan jadwal yang telah disusun, 3. mengevaluasi pelaksanaan jadwal pengawasan akademik dan pengawasan manajerial biar diketahui keberhasilan dan kegagalan pengawasan yang telah dilaksanakannya, 4. melaksanakan pembimbingan dan pembinaan professional guru berdasarkan hasil penilaian pelaksanaan pengawasan atau kita sebut pembinaan, 5. menyusun pelaporan hasil pengawasan akademik dan manajerial serta menindaklanjutinya untuk penyusunan jadwal pengawasan berikutnya.
Sejalan dengan tugas-tugas yang dikemukakan di atas, ditetapkan sejumlah kewajiban pengawas sekolah yakni:
1. menyusun jadwal pengawasan, melaksanakan jadwal pengawasan, melaksanakan penilaian hasil pelaksanaan pengawasan serta pembimbingan dan melatih kemampuan professional guru, 2. meningkatkan dan membuatkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, 3. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, aturan ,nilai agama dan adat dan 4. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Berdasarkan kiprah dan kewajiban di atas maka pengawas sekolah bertanggung jawab melaksanakan kiprah pokok dan kewajiban sesuai yang dibebankan kepadanya. Ini berarti tanggung jawab pengawas sekolah yaitu tercapainya mutu pendidikan di sekolah yang dibinanya. (Nana Sudjana, ,2011:29)
Mengacu pada Surat Keputusan Menpan Nomor 21 Tahun 2010 ihwal jabatan fungsional pengawas fungsional sekolah dan angka kreditnya, berdasarkan Prof. Nana Sudjana (dalam Ofsted,2006) bahwa kiprah pengawas sekolah meliputi :
1. Inspecting (mensupervisi)
2. Advising (memberi nasehat)
3. Monitoring (memantau)
4. Reporting (membuat laporan)
5. Coordnating (mengkoordinir)
6. Performing Leadership (memimpin dan melaksanakan kelima kiprah pokok tersebut) (Anas Rupaedi, 2012:11)
Tugas pokok inspecting (mensupervisi) meliputi kiprah mensupervisi kinerja kepala sekolah, kinerja guru, kinerja staf sekolah, pelaksanaan kurikulum/mata pelajaran, pelaksanaan pembelajaran, ketersediaan dan pemanfaatan sumberdaya, manajemen sekolah, dan aspek lainnya seperti: keputusan moral, pendidikan moral, kerjasama dengan masyarakat.
Tugas pokok advising (memberi advis/nasehat) meliputi advis mengenai sekolah sebagai sistem, memberi advis kepada guru ihwal pembelajaran yang efektif, memberi advis kepada kepala sekolah dalam mengelola pendidikan, memberi advis kepada tim kerja dan staf sekolah dalam meningkatkan kinerja sekolah, memberi advis kepada orang renta siswa dan komite sekolah terutama dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.
Tugas pokok monitoring/pemantauan meliputi tugas: memantau penjaminan/ standard mutu pendidikan, memantau penerimaan siswa baru, memantau proses dan hasil berguru siswa, memantau pelaksanaan ujian, memantau rapat guru dan staf sekolah, memantau hubungan sekolah dengan masyarakat, memantau data statistik kemajuan sekolah, memantau program-program pengembangan sekolah.
Tugas pokok reporting meliputi tugas: melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Propinsi dan/atau Nasional, melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan ke masyarakat publik, melaporkan perkembangan dan hasil pengawasan ke sekolah binaannya.
Tugas pokok coordinating meliputi tugas: mengkoordinir sumber-sumber daya sekolah baik sumber daya manusia, material, financial dll, mengkoordinir acara antar sekolah, mengkoordinir acara preservice dan in service training bagi Kepala Sekolah, guru dan staf sekolah lainnya, mengkoordinir personil stakeholder yang lain, mengkoordinir pelaksanaan acara penemuan sekolah.
Tugas pokok performing leadership/memimpin meliputi tugas: memimpin pengembangan kualitas SDM di sekolah binaannya, memimpin pengembangan penemuan sekolah, partisipasi dalam memimpin acara manajerial pendidikan di Diknas yang bersangkutan, partisipasi pada perencanaan pendidikan di kabupaten/kota, partisipasi pada seleksi calon kepala sekolah/calon pengawas, partisipasi dalam ratifikasi sekolah, partisipasi dalam merekruit personal untuk proyek atau program-program khusus pengembangan mutu sekolah, partisipasi dalam mengelola konflik di sekolah dengan win-win solution dan partisipasi dalam menangani pengaduan baik dari internal sekolah maupun dari masyarakat. Itu semua dilakukan guna mewujudkan kelima kiprah pokok di atas. (Nana Sudjana dalam aciknadzirah.blogspot.com/search?q=08/tugas-pokok-fungsi-hak-dan-wewenang-pengawas-sekolahsatuan-pendidikan/)
B. Upaya Peningkatan Profesionalisme Pengawas Pendidikan
Otonomi daerah memperlihatkan dampak besar terhadap pengelolaan pendidikan. Kewenangan pengelolaan pendidikan diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Bupati dan walikota harus mengatur penyelenggaraan pendidikan di daerahnya. Pemerintah pusat telah memutuskan standar minimal dalam penyelenggaraan pendidikan secara nasional. Pengembangan dan pengayaan dalam penyelenggaraan pendidikan sanggup mengakomodasi potensi khas daerah (Priyadi Surya, 2011:182).
Pengawas tampak menjadi jabatan karier bagi guru dan kepala sekolah. Dalam kerangka otonomi daerah, maka promosi jabatan guru ini menjadi kewenangan bupati/ walikota. Seyogyanya jabatan kepala sekolah dan pengawas ini diisi oleh guru yang memang memenuhi kriteria administratif dan profesional. Tentu saja pengisian jabatan pengawas pun menjadi rawan nuansa politis. Jabatan pengawas pendidikan yang strategis membawahi sekolah, kepala sekolah, dan guru-guru, menggiurkan bagi bupati/walikota untuk menjadikannya alat politik. Beberapa pihak menunjukan bahwa guru-guru yang menjadi tim sukses bupati/walikota, akan menjadi prioritas di dalam pengisian jabatan kepala sekolah dan pengawas. Sedangkan mereka yang tidak demikian, akan sulit membuatkan kariernya dalam jabatan itu. Laode Ida mensinyalir institusi sekolah ketika ini telah menjadi alat politik gres bagi para politisi di tingkat daerah. Institusi sekolah yang khususnya berada di daerah-daerah telah terjebak oleh pragmatisme politik lokal di seluruh Indonesia. Namun tidak terjadi di tempat kota-kota besar contohnya Jakarta. Guru-guru, kepala sekolah dan institusi sekolah merupakan penggalan dari kelas-kelas elit yang sangat kuat dalam pola perpolitikan lokal di tingkat desa maupun kota yang masuk kategori menengah ke bawah. Sehingga, perangkat-perangkat menyerupai kepala sekolah dan guru-guru menjadi alat yang penting bagi pemilihan kepala daerah ketika ini. Hal ini terkadang menjadi penggalan dari kesempatan para guru yang mempunyai kedekatan dengan para calon kepala daerah atau pun incumbent untuk mendekatkan dirinya kepada kekuasaan lokal, sehingga sesudah itu mereka memperoleh jabatan-jabatan strategis. Hal ini seringkali menjadi hambatan psikologis bagi para guru dan kepala sekolah di masa-masa pemilihan kepala daerah yang membuat mereka tidak hening dalam bekerja. Sudah biasa terjadi di daerah, bila simpulan masa pilkada, terjadi mutasi besar-besaran. Selayaknya pendekatan profesional lebih ditingkatkan, selain pendekatan kesetiaan dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan (Priyadi Surya, 2011:183).
Pengawas profesional yaitu pengawas sekolah yang melaksanakan kiprah pokok kepegawaian yang terdiri dari melaksanakan acara pengawasan akademik dan pengawasan manajerial serta acara pembimbingan dan pembinaan profesional guru dengan optimal yang didukung oleh standar dimensi kompetensi prasyarat yang dibutuhkan berkaitan dengan (1) pengawasan sekolah, (2) pengembangan profesi, (3) teknis operasional, dan wawasan kependidikan. Selain itu untuk meningkatkan profesionalisme pengawas sekolah melaksanakan pengembangan profesi secara berkelanjutan dengan tujuan menjawab tantangan dunia pendidikan yang semakin komplek dan untuk lebih mengarahkan sekolah ke arah pencapaian tujuan pendidikan nasional yang efektif, efisien dan produktif (Nana Sujana dkk, 2011:5).
Seorang pengawas profesional dalam melaksanakan kiprah pengawasan harus mempunyai (1) kecermatan melihat kondisi sekolah, (2) ketajaman analisis dan sintesis, (3) ketepatan dan kreatifitas dalam memperlihatkan treatment yang diperlukan, (4) kemampuan berkomunikasi yang baik dengan setiap individu di sekolah (Nana Sujana dkk, 2011:6)
Karakteristik yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah yang profesional diantaranya:
1. Menampilkan kemampuan pengawasan dalam bentuk kinerja
2. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme
3. Melaksanakan kiprah kepengawasan secara efektif dan efisien
4. Memberikan layanan prima untuk semua pemangku kepentingan
5. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan
6. Mengembangkan metode dan taktik kerja kepengawasan secara terus menerus
7. Memiliki kapasitas untuk bekerja secara mandiri
8. Memiliki tanggung jawab profesi
9. Mematuhi instruksi etik profesi pengawas
10. Memiliki komitmen dan menjadi anggota organisasi kepengawasan sekolah (Nana Sujana dkk, 2011:6)
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam peningkatan kualifikasi akademik pengawas yaitu dengan pemberian beasiswa studi lanjut jenjang magister (S2) bagi pengawas dan calon pengawas. Misalnya, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah (Dit. P2TK Dikmen Diknas) telah memperlihatkan beasiswa S2 bagi pengawas dan calon pengawas. Namun sayang, perguruan tinggi yang ditunjuk untuk menyelenggarakan perkuliahan bagi pengawas dan calon pengawas ini yaitu perguruan tinggi yang tidak berbasis forum pendidikan tenaga kependidikan (LTPK). Untuk jadwal tahun 2011, perguruan tinggi yang menjadi kawan dalam hal ini yaitu Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tidak mempunyai fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Padahal, dalam pola Permendiknas No. 12/2007 ihwal Standar Pengawas Sekolah/Madrasah mengarahkan biar kualifikasi akademik pengawas berbasiskan bidang kependidikan. Alangkah lebih baiknya apabila beasiswa S2 bagi pengawas dan calon pengawas itu diselenggarakan di perguruan tinggi berbasis bidang kependidikan (LPTK). Untuk pengawas TK/RA dan SD/MI contohnya sanggup mengambil jadwal studi manajemen pendidikan, manajemen pendidikan, atau pula penjaminan mutu pendidikan. Bagi mereka yang menjadi pengawas SMP/MTs, SMA/ MA, dan SMK/MAK sanggup mengambil jadwal studi pendidikan disiplin ilmu mereka di perguruan tinggi LPTK. Misalnya, pengawas SMP/MTs dan SMA/MA rumpun IPA mengambil S2 Pendidikan IPA, rumpun IPS mengambil S2 Pendidikan IPS, rumpun seni budaya mengambil S2 Pendidikan Seni, dan pengawas SMK/MAK mengambil S2 Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (Vokasi). Seluruh jadwal studi tersebut sudah ada di perguruan tinggi berbasis ilmu kependidikan (LPTK) di Indonesia (Priyadi Surya, 2011:184).
Pengembangan kompetensi sanggup dikembangkan melalui penyusunan karya tulis ilmiah dan pembuatan karya inovatif (aspingk.blogspot.com. 2011).7 Pengembangan diri pengawas sanggup juga dengan mengikuti diklat fungsional, melaksanakan acara kolektif guru, publikasi ilmiah, menyerupai membuat publikasi ilmiah atas hasil penelitian, membuat publikasi buku, juga membuat karya Inovatif menyerupai menemukan teknologi tetap guna, menemukan/menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran, mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya (Priyadi Surya, 2011:186).
C. Peran Pengawas Pendidikan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Tingkat Daerah
Dengan adanya abad otonomi daerah, pemerintah telah menyerahkan hak dan kewenangan melaksanakan pendidikan, bukan hanya di tingkat propinsi, melainkan hingga di tingkat kabupaten/kota. Dalam pendidikan dasar dan mengengah hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pendidikan bahkan telah diserahkan hingga kepada tingkat sekolah melalui konsep manajemen berbasis sekolah (School Based Management) (Dadang Suhardan, 2014:134).
Pengawas sekolah mendapat kiprah besar dalam pembinaan forum ini. Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana (2009:392) mengemukakan kiprah supervisor sebagai konduktor pengelolaan menduduki kiprah penting. Ia harus bisa meraih semua personal yang terlibat pribadi maupun tidak pribadi dengan proses pendidikan. Kaitannya dengan MBS, supervisor harus mengupayakan kondisi sekolah berkinerja tinggi dengan tingkat pelibatan semua unsur terkait (masyarakat, stakeholders, dan pihak sekolah) secara optimal. Dalam hal ini, kiprah supervisor yaitu sebagai katalisator dan fasilitator pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembuatan keputusan pendidikan (Priyadi Surya, 2011:187)
Penjaminan mutu proses pelayanan pendidikan menjadi tanggung jawab pengawas. Supervisi yang dilakukan hendaknya mesti bisa menjaga kualitas jadwal yang diusulkan sekolah selaras dengan tujuan pendidikan nasional, rasional dan mendidik. Pengawas harus menjaga relevansi operasionalisasi kurikulum di sekolah, mengawasi pengelolaan sumber daya dan proses kolaborasi sekolah. Tentu saja pengawas akan mengawasi implementasi kebijakan yang diputuskan pemerintah pusat dan daerah (Priyadi Surya, 2011:187).
References
Hasbullah. (2010). Otonomi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Nana Sudjana, Standar Mutu Pengawas. Jakarta: Depdiknas. (2006). Retrieved from https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/08/tugas-pokok-fungsi-hak-dan-wewenang-pengawas-sekolahsatuan-pendidikan/.
Nana Sujana, d. (2011). Buku Kerja Pengawas Sekolah. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDM dan PMP, Kementrian Pendidikan Nasional.
Nana Syaodih Sukmadinata, A. N. (2006). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah. Bandung: Rafika Aditama.
Paeran. (2015). Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Pengawas Sekolah. Retrieved from https://mbahgurukutim.blogspot.co.id/2015/08/kedudukan-tugaspokok-dan-fungsi
Pengertian pengawas pendidikan. (2012). Retrieved from aciknadzirah.blogspot.com/search?q=08/tugas-pokok-fungsi-hak-dan-wewenang-pengawas-sekolahsatuan-pendidikan/)
B. Upaya Peningkatan Profesionalisme Pengawas Pendidikan
Otonomi daerah memperlihatkan dampak besar terhadap pengelolaan pendidikan. Kewenangan pengelolaan pendidikan diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Bupati dan walikota harus mengatur penyelenggaraan pendidikan di daerahnya. Pemerintah pusat telah memutuskan standar minimal dalam penyelenggaraan pendidikan secara nasional. Pengembangan dan pengayaan dalam penyelenggaraan pendidikan sanggup mengakomodasi potensi khas daerah (Priyadi Surya, 2011:182).
Pengawas tampak menjadi jabatan karier bagi guru dan kepala sekolah. Dalam kerangka otonomi daerah, maka promosi jabatan guru ini menjadi kewenangan bupati/ walikota. Seyogyanya jabatan kepala sekolah dan pengawas ini diisi oleh guru yang memang memenuhi kriteria administratif dan profesional. Tentu saja pengisian jabatan pengawas pun menjadi rawan nuansa politis. Jabatan pengawas pendidikan yang strategis membawahi sekolah, kepala sekolah, dan guru-guru, menggiurkan bagi bupati/walikota untuk menjadikannya alat politik. Beberapa pihak menunjukan bahwa guru-guru yang menjadi tim sukses bupati/walikota, akan menjadi prioritas di dalam pengisian jabatan kepala sekolah dan pengawas. Sedangkan mereka yang tidak demikian, akan sulit membuatkan kariernya dalam jabatan itu. Laode Ida mensinyalir institusi sekolah ketika ini telah menjadi alat politik gres bagi para politisi di tingkat daerah. Institusi sekolah yang khususnya berada di daerah-daerah telah terjebak oleh pragmatisme politik lokal di seluruh Indonesia. Namun tidak terjadi di tempat kota-kota besar contohnya Jakarta. Guru-guru, kepala sekolah dan institusi sekolah merupakan penggalan dari kelas-kelas elit yang sangat kuat dalam pola perpolitikan lokal di tingkat desa maupun kota yang masuk kategori menengah ke bawah. Sehingga, perangkat-perangkat menyerupai kepala sekolah dan guru-guru menjadi alat yang penting bagi pemilihan kepala daerah ketika ini. Hal ini terkadang menjadi penggalan dari kesempatan para guru yang mempunyai kedekatan dengan para calon kepala daerah atau pun incumbent untuk mendekatkan dirinya kepada kekuasaan lokal, sehingga sesudah itu mereka memperoleh jabatan-jabatan strategis. Hal ini seringkali menjadi hambatan psikologis bagi para guru dan kepala sekolah di masa-masa pemilihan kepala daerah yang membuat mereka tidak hening dalam bekerja. Sudah biasa terjadi di daerah, bila simpulan masa pilkada, terjadi mutasi besar-besaran. Selayaknya pendekatan profesional lebih ditingkatkan, selain pendekatan kesetiaan dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan (Priyadi Surya, 2011:183).
Pengawas profesional yaitu pengawas sekolah yang melaksanakan kiprah pokok kepegawaian yang terdiri dari melaksanakan acara pengawasan akademik dan pengawasan manajerial serta acara pembimbingan dan pembinaan profesional guru dengan optimal yang didukung oleh standar dimensi kompetensi prasyarat yang dibutuhkan berkaitan dengan (1) pengawasan sekolah, (2) pengembangan profesi, (3) teknis operasional, dan wawasan kependidikan. Selain itu untuk meningkatkan profesionalisme pengawas sekolah melaksanakan pengembangan profesi secara berkelanjutan dengan tujuan menjawab tantangan dunia pendidikan yang semakin komplek dan untuk lebih mengarahkan sekolah ke arah pencapaian tujuan pendidikan nasional yang efektif, efisien dan produktif (Nana Sujana dkk, 2011:5).
Seorang pengawas profesional dalam melaksanakan kiprah pengawasan harus mempunyai (1) kecermatan melihat kondisi sekolah, (2) ketajaman analisis dan sintesis, (3) ketepatan dan kreatifitas dalam memperlihatkan treatment yang diperlukan, (4) kemampuan berkomunikasi yang baik dengan setiap individu di sekolah (Nana Sujana dkk, 2011:6)
Karakteristik yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah yang profesional diantaranya:
1. Menampilkan kemampuan pengawasan dalam bentuk kinerja
2. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme
3. Melaksanakan kiprah kepengawasan secara efektif dan efisien
4. Memberikan layanan prima untuk semua pemangku kepentingan
5. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan
6. Mengembangkan metode dan taktik kerja kepengawasan secara terus menerus
7. Memiliki kapasitas untuk bekerja secara mandiri
8. Memiliki tanggung jawab profesi
9. Mematuhi instruksi etik profesi pengawas
10. Memiliki komitmen dan menjadi anggota organisasi kepengawasan sekolah (Nana Sujana dkk, 2011:6)
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam peningkatan kualifikasi akademik pengawas yaitu dengan pemberian beasiswa studi lanjut jenjang magister (S2) bagi pengawas dan calon pengawas. Misalnya, Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah (Dit. P2TK Dikmen Diknas) telah memperlihatkan beasiswa S2 bagi pengawas dan calon pengawas. Namun sayang, perguruan tinggi yang ditunjuk untuk menyelenggarakan perkuliahan bagi pengawas dan calon pengawas ini yaitu perguruan tinggi yang tidak berbasis forum pendidikan tenaga kependidikan (LTPK). Untuk jadwal tahun 2011, perguruan tinggi yang menjadi kawan dalam hal ini yaitu Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tidak mempunyai fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Padahal, dalam pola Permendiknas No. 12/2007 ihwal Standar Pengawas Sekolah/Madrasah mengarahkan biar kualifikasi akademik pengawas berbasiskan bidang kependidikan. Alangkah lebih baiknya apabila beasiswa S2 bagi pengawas dan calon pengawas itu diselenggarakan di perguruan tinggi berbasis bidang kependidikan (LPTK). Untuk pengawas TK/RA dan SD/MI contohnya sanggup mengambil jadwal studi manajemen pendidikan, manajemen pendidikan, atau pula penjaminan mutu pendidikan. Bagi mereka yang menjadi pengawas SMP/MTs, SMA/ MA, dan SMK/MAK sanggup mengambil jadwal studi pendidikan disiplin ilmu mereka di perguruan tinggi LPTK. Misalnya, pengawas SMP/MTs dan SMA/MA rumpun IPA mengambil S2 Pendidikan IPA, rumpun IPS mengambil S2 Pendidikan IPS, rumpun seni budaya mengambil S2 Pendidikan Seni, dan pengawas SMK/MAK mengambil S2 Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (Vokasi). Seluruh jadwal studi tersebut sudah ada di perguruan tinggi berbasis ilmu kependidikan (LPTK) di Indonesia (Priyadi Surya, 2011:184).
Pengembangan kompetensi sanggup dikembangkan melalui penyusunan karya tulis ilmiah dan pembuatan karya inovatif (aspingk.blogspot.com. 2011).7 Pengembangan diri pengawas sanggup juga dengan mengikuti diklat fungsional, melaksanakan acara kolektif guru, publikasi ilmiah, menyerupai membuat publikasi ilmiah atas hasil penelitian, membuat publikasi buku, juga membuat karya Inovatif menyerupai menemukan teknologi tetap guna, menemukan/menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran, mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya (Priyadi Surya, 2011:186).
C. Peran Pengawas Pendidikan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Tingkat Daerah
Dengan adanya abad otonomi daerah, pemerintah telah menyerahkan hak dan kewenangan melaksanakan pendidikan, bukan hanya di tingkat propinsi, melainkan hingga di tingkat kabupaten/kota. Dalam pendidikan dasar dan mengengah hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pendidikan bahkan telah diserahkan hingga kepada tingkat sekolah melalui konsep manajemen berbasis sekolah (School Based Management) (Dadang Suhardan, 2014:134).
Pengawas sekolah mendapat kiprah besar dalam pembinaan forum ini. Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana (2009:392) mengemukakan kiprah supervisor sebagai konduktor pengelolaan menduduki kiprah penting. Ia harus bisa meraih semua personal yang terlibat pribadi maupun tidak pribadi dengan proses pendidikan. Kaitannya dengan MBS, supervisor harus mengupayakan kondisi sekolah berkinerja tinggi dengan tingkat pelibatan semua unsur terkait (masyarakat, stakeholders, dan pihak sekolah) secara optimal. Dalam hal ini, kiprah supervisor yaitu sebagai katalisator dan fasilitator pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembuatan keputusan pendidikan (Priyadi Surya, 2011:187)
Penjaminan mutu proses pelayanan pendidikan menjadi tanggung jawab pengawas. Supervisi yang dilakukan hendaknya mesti bisa menjaga kualitas jadwal yang diusulkan sekolah selaras dengan tujuan pendidikan nasional, rasional dan mendidik. Pengawas harus menjaga relevansi operasionalisasi kurikulum di sekolah, mengawasi pengelolaan sumber daya dan proses kolaborasi sekolah. Tentu saja pengawas akan mengawasi implementasi kebijakan yang diputuskan pemerintah pusat dan daerah (Priyadi Surya, 2011:187).
References
Hasbullah. (2010). Otonomi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Nana Sudjana, Standar Mutu Pengawas. Jakarta: Depdiknas. (2006). Retrieved from https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/08/tugas-pokok-fungsi-hak-dan-wewenang-pengawas-sekolahsatuan-pendidikan/.
Nana Sujana, d. (2011). Buku Kerja Pengawas Sekolah. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDM dan PMP, Kementrian Pendidikan Nasional.
Nana Syaodih Sukmadinata, A. N. (2006). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah. Bandung: Rafika Aditama.
Paeran. (2015). Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Pengawas Sekolah. Retrieved from https://mbahgurukutim.blogspot.co.id/2015/08/kedudukan-tugaspokok-dan-fungsi
Rohiat. (2012). Manajemen Sekolah. Bandung: Refika Aditama.
Rupaedi, A. (2012). Tesis; Peranan Pengawas Sekolah Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Menengah Kejurunan (SMK) Kabupaten Indramayu. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/view/441/33 .
Suhardan, D. (2014). Supervisi Profesional; Layanan dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran di Era Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta.
Surya, P. (2011). Profesionalisasi Pengawas Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Aspirasi Vol.2 No.2, 178.
Suti, M. (Oktober 2011). Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan. Jurnal MEDTEK.
Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com